it's all my hobby

Its all my hobby

Minggu, 22 November 2015

LP DAN ASKEP KLIEN DENGAN ABSES LEHER

I. LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring, abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus
(nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari rung submaksila oleh otot miohioid. Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang submandibula dan membagi ruang submandibulla atas ruang submental dan ruang submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.

B. Etiologi/ Penyebab
Infiltrasi kelenjar submandibula terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau
infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Proses ini terjadi karena komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik
C. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ini belum diketahui dengan jelas. Ada beberapa teori yang mendukung, diantaranya teori mengenai progresivitas episode eksudatif tonsilitis menjadi peritonsilitis lalu terjadi pembentukan abses. Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadiumpermulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Perluasan proses inflamasi dapat terjadi baik pada pasien tonsilitis yang diobati maupun yang tidak diobati. Abses peritonsil juga terjadi secara de novu tanpa adanya riwayat tonsilitis kronis atau tonsilitis berulang. Abses peritonsil juga dapat terjadi akibat infeksi mononukleosis, virus Epstein-barr. Teori lain menyatakan hubungan abses peritonsil dengan glandula weber. Kelenjar-kelenjar ludah minor ini ditemukan pada daerah peritonsil dan diperkirakan membantu membersihkan debris dari tonsil. Jika terjadi obstruksi akibat adanya infeksi tonsil, jaringan nekrosis, dan terjadi pembentukan abses maka terjadilah abses peritonsil

D. Minafestasi Klinis
Pasien umumnya datang dengan riwayat faringitis akut bersama tonsillitis dan nyeri
faring unilateral yang semakin bertambah. Pasien juga mengalami malaise, lemah dan sakit kepala. Mereka juga mengalami demam dan rasa penuh pada sebagian tenggorokan. Nyeri bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus. Otot pengunyah diselusupi oleh abses sehingga pasien sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar (trismus) untuk pemeriksaan tenggorok. Menelan jadi sukar dan nyeri. Penyakit ini biasanya hanya pada satu sisi. Air ludah menetes dari mulut dan ini merupakan salah satu penampakan yang khas. Pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri, akibat infiltrasi ke jaringan leher di regio tonsil. Selain gejala dan tanda tonsilitis akut dengan odinofagia (nyeri menelan) yang lebih hebat biasanya pada satu sisi, juga terdapat nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia) dan pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.

E. Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum
besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc.
Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat
dikirim untuk dibiakkan.
Pemeriksaan penunjang lainnya :
1.      Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit  (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2.      Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
3.       “Throat culture” atau “throat swab and culture”: diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4.      Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
5.      Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”.
6.      Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonography.

F. Penatalaksanaan Medis
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia lokal di
ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada
umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral.

G. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah :
1.      Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahanm aspirasi paru, atau piema.
2.      Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3.      Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak
Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis diabaikan. Beratnya
komplikasi tergantung dari kecepatan progress penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.
H. Prognosis
Abses peritonsoler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.
Tonsilektomi ditunda sampai 6 minggu setelah dilakukan insisi, Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat
operasi





























I. PATHWAY
 



Peradangan
 
 





















Neuromuskular
 
                                                                                                    
Nyeri akut
 
Terjadinya Infeksi
 
 
























II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Informasi dari pasien (anamnesis) sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsiler. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses peritonsilar. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum mole, eksudasitonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Dan pada palpasi palatum molle teraba fluktuasi. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas, untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.
1.      Keluhan mengalami malaise, lemah dan sakit kepala.
2.      Demam
3.      Rasa penuh pada sebagian tenggorokan.
4.      Nyeri, bertambah sesuai dengan perluasan timbunan pus.
5.      Sulit untuk membuka mulut yang cukup lebar (trismus).
6.      Susah menelan
7.      Pergerakan kepala ke lateral menimbulkan nyeri
8.      Kemungkian juga terdapat nyeri telinga (otalgia),
9.      muntah (regurgitasi),
10.  mulut berbau (foetor ex ore),
11.  banyak ludah (hipersalivasi),
12.  suara sengau (rinolalia)

B. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa yang mungkin dapat ditegakkan dari data yang ada antara lain :
1.      Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
2.      Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis
3.      Ketidakefektifan termoregulasi berhubungan dengan penyakit


C. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Intervensi
Gangguan menelan berhubungan dengan neomuskular
a.    Nutritional status:
Adequacy of nutrient
b.   Nutritional Status : food and Fluid Intake
Setelah dilakukan tindakan keperawatan gangguan menelan teratasi dengan indikator :
1.   Dapat mencapai asupan nutrisi yang adekuat
2.   Mempertahankan hyiene mulut
3.   Teknik Makan yang benar

·    Kaji adanya alergi makanan
·    Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
·    Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi
·    Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
·    Monitor lingkungan selama makan
·    Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan
·    Monitor turgor kulit
·    Monitor kemampuan mengunyah
·    Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan jaringan konjungtiva
·    Monitor intake nuntrisi
·    Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan
·    Anjurkan banyak minum
·    Pertahankan terapi IV line
·    Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik papila lidah dan cavitas oval

Nyeri akut berhubungan dengan faktor biologis
a.     Pain Level,
b.     pain control,
c.     comfort level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
·      Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
·      Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
·      Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
·      Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
·      Tanda vital dalam rentang normal
·      Tidak mengalami gangguan tidur

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
·    Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
·    Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
·    Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
·    Kurangi faktor presipitasi nyeri
·    Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
·    Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
·    Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri: ……...
·      Tingkatkan istirahat
·      Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
·      Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

C. Implementasi Keperawatan
Implementasi merupakan pelaksanaan perencanaan keperawatan oleh perawat. Seperti
tahap – tahap yang lain dalam proses keperawatan, fase pelaksanaan terdiri dari beberapa
kegiatan antara lain :
a.       Validasi (pengesahan) rencana keperawatan
b.      Menulis/ mendokumentasikan rencana keperawatan
c.       Memberikan asuhan keperawatan
d.      Melanjutkan pengumpulan data
e.        
D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan yang merupakan
kegiatan sengaja dan terus menerus yang melibatkan klien perawat dan anggota tim
kesehatan lainnya
Tujuan evaluasi adalah :
a.       Untuk menilai apakah tujuan dalam rencana perawatan tercapai atau tidak
b.      Untuk melakukan pengkajian ulang
Untuk dapat menilai apakah tujuan ini tercapai atau tidak dapat dibuktikan dengan
prilaku klien :
a.       Tujuan tercapai jika klien mampu menunjukkan prilaku sesuai dengan pernyataan tujuan pada waktu atau tanggal yang telah ditentukan
b.      Tujuan tercapai sebagian jika klien telah mampu menunjukkan prilaku, tetapi tidak seluruhnya sesuai dengan pernyataan tujuan yang telah ditentukan
c.       Tujuan tidak tercapai jika klien tidak mampu atau tidak mau sama sekali menunjukkan prilaku yang telah ditentukan




























DAFTAR PUSTAKA

Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
Adrianto, Petrus. 1986. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. EGC, Jakarta.
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medical bedah, Vol. 1 Fachruddin, Darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Snell, S Richard. 2002. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. EGC; Jakarta.
Soepardi,E.A, Iskandar, H.N, Abses Peritonsiler, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung
dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 200.
 Taylor, Cynthia M. 2010. Diagnosis Keperawatan; Dengan Rencana Asuhan. Edisi 10. Jakarta. EGC
Wilkinson, Judith. M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. Jakarta. EGC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar