Laporan Pendahuluan dan askep klien dengan carsinoma
nasofaring
1. Definisi
Karsinoma nasofaring merupakan tumor
ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller
dan atap nasofaring.Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala
dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia.
Karsinoma nasofaring adalah tumor
ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller
dan atap nasofaring.Keganasan ini termasuk 5 besar bersama kanker mulut rahim,
payudara, kulit dan getah bening sedangkan pada laki-laki merupak tumor yang
paling banyak ditemukan.
Karsinoma nasofaring merupakan
keganasan yang mempunyai predisposisi rasial yang sangat mencolok. Insidennya
paling tinggi pada ras Mongoloid terutama pada penduduk di daerah Cina bagian
selatan, Hongkong, Singapura, Malaysia dan Indonesia. Di Indonesia penyakit ini
ditemukan pertamakali oleh Banker pada tahun 1926, kemudian laporan kasus dalam
jumlah cukup banyak baru setelah tahun 1953. Keganasan ini ditemukan lebih
banyak pada laki-laki dari perempuan dalam perbandingan 2,5:1.
Nasofaring sendiri merupakan bagian
nasal dari faring yang mempunyai struktur berbentuk kuboid.Banyak terdapat
struktur anatomis penting di sekitarnya.Banyak syaraf kranial yang berada di
dekatnya, dan juga pada nasofaring banyak terdapat limfatik dan suplai
darah.Struktur anatomis ini mempengaruhi diagnosis, stadium, dan terapi dari
kanker tersebut.
2. Etiologi
Insidens karsinoma nasofaring yang
tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan, lingkungan dan virus Epstein-Barr
(Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin,
genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman
atau parasit juga sangat mempengaruhi
kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi sudah hampir dapat dipastikan bahwa
penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-barr, karena pada semua
pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi.
3. Patofisiologi
Terbukti
juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini
dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada
penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV
akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat
dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
pada 50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai
di dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring.
Selain
itu, dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna dkk (2004) dalam Rusdiana (2006)
terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma
nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer.
Hubungan
antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh
berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini .Pada pasien karsinoma
nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum
plasma.EBNA-1 adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom
virus.Huang dalam penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di
dalam sel penderita karsinoma nasofaring. Terdapat 5 stadium pada karsinoma
nasofaring yaitu:
PENENTUAN STADIUM :
TUMOR SIZE
(T)
|
|
T
|
Tumor
primer
|
T0
|
Tidak
tampak tumor
|
T1
|
Tumor
terbatas pada satu lokasi saja
|
T2
|
Tumor
dterdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas pada rongga
nasofaring
|
T3
|
Tumor telah
keluar dari rongga nasofaring
|
T4
|
Tumor
teah keluar dari nasofaring dan telah kmerusak tulang tengkorak atau
saraf-saraf otak
|
Tx
|
Tumor tidak
jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap
|
REGIONAL
LIMFE NODES (N)
|
|
N0
|
Tidak ada
pembesaran
|
N1
|
Terdapat
pembesarantetapi homolateral dan masih bisa digerakkan
|
N2
|
Terdapat
pembesaran kontralateral/ bilateral dan masih dapat digerakkan
|
N3
|
Terdapat
pembesaran, baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah
melekat pada jaringan sekitar
|
METASTASE
JAUH (M)
|
|
M0
|
Tidak ada
metastase jauh
|
M1
|
Metastase
jauh
|
- Stadium I :T1 No dan Mo
- Stadium II :T2 No dan Mo
- Stadium III :T1/T2/T3 dan N1
dan Mo atau T3 dan No dan Mo
- Stadium IV : T4 dan No/N1
dan Moatau T1/T2/T3/T4 dan N2/N3 dan Moatau T1/T2/T3/t4 dan No/N1/N3/N4 dan M1
1. Stadium
0: sel-sel kanker masih berada dalam batas nasopharing, biasa disebut
nasopharynx in situ
2. Stadium 1: Sel kanker menyebar di bagian
nasopharing
3. Stadium
2: Sel kanker sudah menyebar pada lebih dari nasopharing ke rongga hidung. Atau
dapat pula sudah menyebar di kelenjar getah bening pada salah satu sisi leher.
4. Stadium 3: Kanker ini sudah menyerang pada
kelenjar getah bening di semua sisi leher
5.
Stadium 4: kanker ini sudah menyebar di saraf dan tulang sekitar wajah.
Konsumsi ikan asin yang berlebih serta
pemaparan zat-zat karsinogen dapat mengaktifkan Virus Epstein Barr ( EBV). Ini
akan menyebabkan terjadinya stimulasi pembelahan sel abnormal yang tidak
terkontrol, sehingga terjadi differensiasi dan proliferasi protein laten
(EBNA-1). Hal inilah yang memicu pertumbuhan sel kanker pada nasofaring, dalam
hal ini terutama pada fossa Rossenmuller.
4. Manifestasi
Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat
dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu antara lain:
1.
Gejala nasofaring
Adanya
epistaksis ringan atau sumbatan hidung.Terkadang gejala belum ada tapi tumor
sudah tumbuh karena tumor masih terdapat dibawah mukosa (creeping tumor)
2.
Gangguan pada telinga
Merupakan
gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius (fosa
Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti
tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.
Gangguan mata dan syaraf
Karena
dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen laserum
yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia,
juling, eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf otak terkena disebut sindrom unialteral.Prognosis jelek bila sudah disertai destruksi tulang tengkorak.
4.
Metastasis ke kelenjar leher
Yaitu
dalam bentuk benjolan medial terhadap muskulus sternokleidomastoid yang
akhirnya membentuk massa besar hingga kulit mengkilat. Hal inilah yang
mendorong pasien untuk berobat.Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi
hiperplastik nasofaring atau LHN telah diteliti dicina yaitu 3 bentuk yang
mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa,
pembesaran nodul dan mukositis berat pada daerah nasofaring. Kelainan ini bila
diikuti bertahun – tahun akan menjadi karsinoma nasofaring.
5.Komplikasi
Komplikasi akut yang dapat terjadi
adalah:
1)
Mukositis : Mukositis oral merupakan
inflamasi pada mukosa mulut berupa eritema dan adanya ulser yang biasanya
ditemukan pada pasien yang mendapatkan terapi kanker. Biasanya pasien
mengeluhkan rasa sakit pada mulutnya dan dapat mempengaruhi nutrisi serta kualitas
hidup pasien.
2)
Kandidiasis : Pasien radioterapi
sangat mudah terjadi infeksi opurtunistik berupa kandidiasis oral yang
disebabkan oleh jamur yaitu Candida albicans. Infeksi kandida
ditemukan sebanyak 17-29% pada pasien yang menerima radioterapi.
3) Dysgeusia adalah respon awal berupa
hilangnya rasa pengecapan, dimana salah satunya dapat disebabkan oleh terapi
radiasi.
4) Xerostomia : Xerostomia atau mulut
kering dikeluhkan sebanyak 80% pasien yang menerima radioterapi. Xerostomia
juga dikeluhkan sampai radioterapi telah selesai dengan rata-rata 251 hari
setelah radioterapi. Bahkan tetap dikeluhkan setelah 12-18 bulan setelah
radioterapi tergantung pada dosis yang diterima kelenjar saliva dan volume
jaringan kelenjar yang menerima radiasi.
Komplikasi kronis adalah:
1) Karies gigi : Karies gigi dapat
terjadi pada pasien yang menerima radioterapi. Karies gigi akibat paparan
radiasi atau yang sering disebut dengan karies radiasi adalah bentuk yang
paling destruktif dari karies gigi, dimana mempunyai onset dan progresi yang
cepat. Karies gigi biasanya terbentuk dan berkembang pada 3-6 bulan setelah
terapi radiasi dan mengalami kerusakan yang lengkap pada semua gigi pada
periode 3-5 tahun.
2) Osteoradionekrosis : Osteoradionekrosis
(ORN) merupakan efek kronis yang penting pada radioterapi. Osteoradionekrosis
adalah nekrose iskemik tulang yang disebabkan oleh radiasi yang menyebabkan
rasa sakit karena kehilangan banyak struktur tulang.
3) Nekrose pada jaringan lunak : Komplikasi
oral kronis lain yang dapat terjadi adalah nekrose pada jaringan lunak, dimana
95% kasus dari osteoradionekrosis berhubungan dengan nekrose pada jaringan
lunak. Nekrose jaringan lunak didefinisikan sebagai ulser yang terdapat pada
jaringan yang terradiasi, tanpa adanya proses keganasan (maligna). Evaluasi
secara teratur penting dilakukan sampai nekrose berkurang, karena tidak ada
kemungkinan terjadinya kekambuhan. Timbulnya nekrose pada jaringan lunak ini
berhubungan dengan dosis, waktu, dan volume kelenjar yang terradiasi.
Reaksi akut terjadi selama terapi dan biasanya bersifat
reversibel, sedangkan reaksi yang bersifat kronis biasanya terjadi menahun dan
bersifat irreversibel.
4) Gagal napas dapat terjadi karena
adanya metastase dari tumor nasofaring sampai pada trakea sehingga terjadi
sumbatan total pada trakea, transportasi oksigen menjadi terhambat, jika hal
ini terus dibiarkan maka dapat mengakibatkan gagal napas.
5) Peningkatan tekanan intrakranial,
dapat terjadi ketika metastase tomor sudah mencapai lapisan otak, dan
menekan/menyesak duramater otak sehingga merangsang peningkatan tekanan intra
kranial.
6. .Penatalaksanaan
1. Radioterapi
Sebelumnya persiapan pasien dengan
oral hygiene, dan apabila infeksi/kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu.
Dosis yang diberikan 200 rad/hari sampai 6000-6600 rad untuk tumor primer,
sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad. Jika tidak ada
pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi efektif sebesar 4000 rad. Ini dapat
diberikan pada keadaan kambuh atau pada metastasis tulang yang belum
menimbulkan keadaan fraktur patologik. Radiasi dapat menyembuhkan lesi, dan
mengurangi rasa nyeri.
2. Pengobatan tambahan
yang diberikan dapat berupa diseksi
leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul
kembali setelah penyinaran dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu
diperiksa dengan radiologik dan serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor
transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.
4. Kemoterapi
Sebagai terapi tambahan dan
diberikan pada stadium lanjut.Biasanya dapat digabungkan dengan radiasi dengan
urutan kemoterapi-radiasi-kemoterapi. Kemoterapi yang dipakai yaitu
Methotrexate (50 mg IV hari 1 dan 8); Vincristin (2 mg IV hari1); Platamin (100
mg IV hari 1); Cyclophosphamide (2 x 50 mg oral, hari 1 s/d 10); Bleomycin (15
mg IV hari 8). Pada kemoterapi harus dilakukan kontrol terhadap efek samping
fingsi hemopoitik, fungsi ginjal dan lain-lain.
5. Operasi
Tindakan operasi berupa diseksi
leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih.
6.Pencegahan
Pemberian
vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal didearah dengan resiko
tinggi.Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah dengan resiko tinggi ketempat
lainnya. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya, penyuluhan
mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan sosial/ekonomi
dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.
Melakukan tes serologik lgA-anti VCA dan lgA anti EA secara massal dimsa yang
akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
B.Asuhan Keperawatan Ca Nasofaring
1. PENGKAJIAN
a. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal
ibu atau nenek dengan riwayat kanker payudara
b. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia,
asap sejenis kayu tertentu.
c. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu
dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan (
daging dan ikan).
d. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut
keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e. Tanda dan gejala :
1.
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan.Perubahan pada pola istirahat;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada,
penurunan tekanan
3.
Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan,
menyangkal diagnosis, perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi,
menarik diri, marah.
4.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan
eliminasi urin, perubahan bising usus, distensi abdomen.
5.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet),
anoreksia, mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat
badan, kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7.
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga
(otalgia), rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
8.
Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang
merokok), pemajanan
9.
Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari
lama / berlebihan, demam, ruam kulit.
10.
Seksualitas
Masalah seksual misalnya dampak hubungan, perubahan pada
tingkat kepuasan.
11.
Interaksi sosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
2. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
- Bersihan jalan nafas tidak efektif
b.d sekresi berlebihan
- Nyeri akut b/d agen injuri
fisik (pembedahan).
- Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan pemasukan nutrisi..
- Risiko infeksi b/d tindakan
infasive, imunitas tubuh menurun
- Kurang pengetahuan tentang
penyakit dan perawatannya b/d misintepretasi informasi, ketidak
familiernya sumber informasi.
- Resiko Aspirasi b/d inefektif
reflek menelan
- Defisit self care b/d kelemahan
- Harga diri Rendah b/d perubahan
perkembangan penyakit, pengobatan penyakit.
3. PERENCANAAN
KEPERAWATAN
No
|
Diagnosa
|
Tujuan
|
Intervensi
|
1
|
Bersihan jalan nafas tidak efektif
b.d sekresi berlebihan
|
Setelah dilakukan askep .. jam status respirasi: terjadi kepatenan jalan
nafas dengan Kriteria :
1. Tidak ada panas
2. Cemas tidak ada
3. Obstruksi tidak ada
4. Respirasi dalam batas normal 16-20x/mnt
5. Pengeluaran sputum dari jalan nafas
6. paru bersih
|
Airway Management/Manajemen jalan nafas
Bebaskan jalan nafas.
Posisikan klien untuk
memaksimalkan ventilasi
Identifikasi apakah klien
membutuhkan insertion airway
Jika perlu, lakukan terapi fisik
(dada)
Auskultasi suara nafas, catat
daerah yang terjadi penurunan atau tidak adanya ventilasi
Berikan bronkhodilator, jika perlu
Atur pemberian O2, jika
perlu
Atur intake cairan agar seimbang
Atur posisi untuk mengurangi
dyspnea
Monitor status pernafasan dan
oksigenasi
Airway Suctioning/Suction jalan nafas
· Keluarkan sekret dengan dorongan batuk/suctioning
· Lakukan suction pada endotrakhel/nasotrakhel, jika perlu
|
2
|
Nyeri akut b/d agen injuri fisik
|
Setelah dilakukan askep ….. jam
klien menunjukkan tingkat kenyamanan
dan level nyeri: klien terkontrol dg KH:
· Klien melaporkan nyeri berkurang skala nyeri 2-3
· Ekspresi wajah tenang, klien mampu istirahat dan tidur
· V/S dbn (TD 120/80 mmHg, N: 60-100 x/mnt, RR: 16-20x/mnt)
|
Manajemen nyeri :
· Kaji tingkat nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi.
· Observasi reaksi
nonverbal dari ketidaknyamanan.
· Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien sebelumnya.
· Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
· Kurangi faktor presipitasi nyeri.
· Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologis/non
farmakologis)..
· Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll)
untuk mengetasi nyeri..
· Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
· Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.
· Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak berhasil.
· Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
Administrasi analgetik :
· Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
· Cek riwayat alergi..
· Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis
optimal.
· Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian analgetik.
· Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri muncul.
· Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek
samping.
|
3
|
Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh b/d intake nutisi in adekuat, faktor biologis
|
Setelah dilakukan askep …. jam
klien menunjukan status nutrisi
adekuat dibuktikan dengan BB stabil tidak terjadi mal nutrisi, tingkat
energi adekuat, masukan nutrisi adekuat
|
Manajemen Nutrisi
· kaji pola makan klien
· Kaji adanya alergi makanan.
· Kaji makanan yang disukai oleh klien.
· Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan klien.
· Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
· Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk
mencegah konstipasi.
· Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya
bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
· Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.
· Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan
klien makan.
· Monitor lingkungan selama makan.
· Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan
waktu klien makan.
· Monitor adanya mual muntah.
· Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan, bengkak dsb.
· Monitor intake nutrisi dan kalori.
|
4
|
Risiko infeksi b/d imunitas tubuh
primer menurun, prosedur invasive
|
Setelah dilakukan askep …… jam
tidak terdapat faktor risiko infeksi pada
klien dibuktikan dengan status imune klien adekuat: bebas dari gejala
infeksi, angka lekosit normal (4-11.000),
|
Konrol infeksi :
· Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.
· Batasi pengunjung bila perlu.
· Intruksikan kepada keluarga untuk mencuci tangan saat
kontak dan sesudahnya.
· Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci tangan.
· Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
keperawatan.
· Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat pelindung.
· Pertahankan lingkungan yang aseptik selama pemasangan
alat.
· Lakukan perawatan luka dan dresing infus setiap hari.
· Tingkatkan intake nutrisi dan cairan
· berikan antibiotik sesuai program.
Proteksi terhadap infeksi
· Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal.
· Monitor hitung granulosit dan WBC.
· Monitor kerentanan terhadap infeksi..
· Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.
· Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase.
· Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.
· Ambil kultur jika perlu
· Dorong istirahat yang cukup.
· Monitor perubahan tingkat energi.
· Dorong peningkatan mobilitas dan latihan.
· Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai program.
· Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala infeksi.
· Laporkan kecurigaan infeksi.
· Laporkan jika kultur positif.
|
5
|
Kurang pengetahuan tentang
penyakit dan perawatan nya b/d kurang terpapar dg informasi, terbatasnya kognitif
|
Setelah dilakukan askep
........jam, pengetahuan klien
meningkat. Dg KH:
· Klien / keluarga mampu
menjelaskan kembali penjelasan yang telah dijelaskan
· Klien / keluarga kooperatif saat
dilakukan tindakan.
|
Teaching : Dissease Process
· Kaji tingkat
pengetahuan klien dan keluarga tentang proses penyakit
· Jelaskan tentang patofisiologi penyakit, tanda dan gejala
serta penyebab yang mungkin
· Sediakan informasi tentang kondisi klien
· Siapkan keluarga atau orang-orang yang berarti dengan
informasi tentang perkembangan klien
· Sediakan informasi tentang diagnosa klien
· Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan
untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau kontrol proses
penyakit
· Diskusikan tentang pilihan tentang terapi atau pengobatan
· Jelaskan alasan dilaksanakannya tindakan atau terapi
· Dorong klien untuk menggali pilihan-pilihan atau
memperoleh alternatif pilihan
· Gambarkan komplikasi yang mungkin terjadi
· Anjurkan klien untuk mencegah efek samping dari penyakit
· Gali sumber-sumber atau dukungan yang ada
· Anjurkan klien untuk melaporkan tanda dan gejala yang
muncul pada petugas kesehatan
· kolaborasi dg tim
yang lain.
|
6
|
Risiko aspirasi b/d inefektifnya
reflek menelan
|
Setelah
dilakukan askep …. jam tidak terjadi aspirasi / Aspiration tercontrol
Kriteria Hasil :
· Dapat bernafas dengan mudah dan frekuensi normal
(16-20x/mnt).
· Pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi,
dan mampu melakukan oral hygien, serta posisi tegak selama M/M
· Menghindari factor risiko
· Jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak merasa tercekik
dan tidak ada suara nafas abnormal
|
Aspiration precaution
· Monitor tingkat kesadaran, reflek batuk dan kemampuan
menelan
· Monitor status paru
· Pelihara jalan nafas
· Monitor v/s
· Lakukan suction jika diperlukan
· Cek nasogastrik sebelum makan
· Hindari makan kalau residu masih banyak
· Potong makanan kecil kecil
· Haluskan obat sebelum pemberian
· Naikkan kepala 30-45 derajat pada saat dan setelah makan
· Jika pasien menunjukkan gejala mual muntah, posisikan
klien miring.
· Jika perlu suapi klien perlahan dan berikan waktu cukup
untuk mengunyah / menelan
|
7
|
Defisit self care b/d kelemahan
|
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan …. jam klien mampu Perawatan diri
Self care :Activity Daly Living
(ADL) dengan indicator :
· Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari (makan,
berpakaian, kebersihan, toileting, ambulasi)
· Kebersihan diri pasien terpenuhi
|
Bantuan perawatan diri
· Monitor kemampuan pasien terhadap perawatan diri
· Monitor kebutuhan akan personal hygiene, berpakaian,
toileting dan makan
· Beri bantuan sampai klien mempunyai kemapuan untuk merawat
diri
· Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya.
· Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sehari-hari
sesuai kemampuannya
· Pertahankan aktivitas perawatan diri secara rutin
· Evaluasi kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
· Berikan reinforcement atas usaha yang dilakukan dalam
melakukan perawatan diri sehari hari.
|
8
|
Harga diri rendah b/d perubahan
gaya hidup
|
Setelah dilakukan askep …. jam klien menerima keadaan dirinya Dg KH:
· Mengatakan penerimaan diri & keterbatasan diri
· Menjaga postur yang terbuka
· Menjaga kontak mata
· Komunikasi terbuka
· Secara seimbang dapat berpartisipasi dan mendengarkan
dalam kelompok
· Menerima kritik yang konstruktif
· Menggambarkan kebanggaan terhadap diri
|
Peningkatan harga diri
· Monitor pernyataan pasien tentang harga diri
· Anjurkan pasien utuk mengidentifikasi kekuatan
· Anjurkan kontak mata jika berkomunikasi dengan orang lain
· Bantu pasien mengidentifikasi respon positif dari orang
lain.
· Berikan pengalaman yang meningkatkan otonomi pasien.
· Fasilitasi lingkungan dan aktivitas meningkatkan harga
diri.
· Monitor frekuensi pasien mengucapkan negatif pada diri
sendiri.
· Yakinkan pasien percaya diri dalam menyampaikan
pendapatnya
· Anjurkan pasien untuk tidak mengkritik negatif terhadap dirinya
· Sampaikan percaya diri terhadap kemampuan pasien mengatasi
situasi
· Bantu pasien menetapkan tujuan yang realistik dalam
mencapai peningkatan harga diri.
· Bantu pasien menilai kembali persepsi negatif terhadap
dirinya.
· Anjurkan pasien untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap
dirinya.
· Gali alasan pasien mengkritik diri sendiri
· Anjurkan pasien mengevaluasi perilakunya.
· Berikan reward kepada pasien terhadap perkembangan dalam
pencapaian tujuan
· Monitor tingkat harga diri
|
DAFTAR PUSTAKA
Arya, Fandy. 2013. Laporan
Pendahuluan Askep Pada Klien (dalam :http://fandyarya2.blogspot.com/2013/05/laporan-pendahuluan-askep-pada-klien.html ). diakses tanggal 15 september 2014.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3.
Jakarta : EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi &
Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
Moorhead, Sue, et.al. Nursing
Outcomes Classification (NOC).Fourth Edition. St. Louis Missouri : Mosby
Elsevier.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 oleh NANDA
International. Jakarta : EGC
Bulechek ,Dochterman. Nursing
Interventions Classification (NIC). Fourth Edition. St. Louis Missouri :
Mosby Elsevier.
Putra, semara. 2012. Laporan
pendahuluan pada klien dengan ca
nasofaring (dalam : :http://semaraputraadjoezt.wordpress.com/2012/10/29/laporan-pendahuluan-askep-pada-klien-dengan-ca-nasofaring-2/). Diakses tanggal 15 September 2014
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo,
dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar